Hidupku sepertinya tak wajar, aku berbeda dengan orang lain. Dikala orang lain bermain, aku hanya duduk  memandang ke luar dari jendela, tapi aku pikir ini bukan salah siapa – siapa. Mungkin aku yang tak ingin bermain atau mungkin keinginan keluarga ku yang hanya menuntutku untuk menjadi yang mereka mau, bukan nya itu yang namanya egois, mungkin juga itu untuk kebaikan ku juga, agar aku kelak bisa menghidupi keluarga ku sendiri tanpa harus  merepotkan siapa – siapa. Dan ketidakwajaran diriku yang lain adalah selalu ingin sendiri, jauh dari keramaian dan  tak memiliki teman wanita seperti layaknya laki – laki muda yang lain. Yang selalu kupikirkan adalah menjadi apa aku nanti, apakah aku menjadi apa yang aku ingin kan atau kah aku menjadi apa yang keluargaku inginkan. Kini, aku hanya ingin menikmati hidupku dulu, sebagai remaja yang sedang mencari jati diri. Sebenarnya aku menginginkan ada wanita yang selalu berada di sampingku jika ku butuhkan, tapi, aku selalu tak mampu untuk mengungkapkan hatiku kepada wanita yang ku cintai. Sebenarnya aku takut jika aku dan wanita yang ku cintai melakukan hal yang tidak di inginkan oleh orang tua, di umurku yang belum cukup untuk menghidupi keluarga, dan tak pantas. Namun, aku juga takut jika aku tutup usia nanti aku tak di sholatkan karena termasuk orang yang munafik, yang mengingkari hatinya sendiri.

Kini aku berada di kelas 2 sekolah menengah atas, hidupku kini berbeda dengan kehidupan ku yang masih kelas 1 sekolah menengah atas, aku kini mulai berontak, keluar tengah malam dan selalu di marahi orang tua di kala pulang.

Kata orang di masa-masa kelas 2 sma- ini adalah masanya anak selalu ingin mencoba segala sesuatu. Narkoba, alkohol, rokok, dan sex. Aku, dalam hidupku,  tak ingin menjadi seperti orang – orang yang tak memiliki prinsip, melakukan apa yang dilakukan oleh orang lain. Memang aku merokok, tapi aku sudah berjanji kepada hatiku sendiri untuk tidak melakukan hal lain, karena aku tak ingin menjadi orang munafik untuk kedua kalinya karena mengkhianati hatiku sendiri. Aku telah beberapa kali untuk di ajak melakukan maksiat, melakukan hal yang tidak di perbolehkan oleh agamaku, tapi aku akan terus berusaha untuk mempertahankan prinsip ku, karena aku tak ingin di “cap” jelek, atau di jauhi oleh keluarga ku, karena bagaimanapun keluarga adalah kehidupan, tempat dimana kita berteduh, tempat di mana kita berlindung, tempat di mana kita bisa beristirahat, hidup kita pun tergantung oleh keluarga kita —jika keluarga menghiraukan kita, kita akan melakukan hal yang tak di harapkan oleh orang tua tapi di harapkan oleh kita. Bohong jika kau bisa hidup tanpa keluarga, siapa yang akan melindungi mu jikala kau sedang terhujani?, siapa yang akan menuntun mu berjalan jika sedang kau kehilangan jalan mu?, sahabatmu?, temanmu?, teman perempuanmu?, akh, itu semua nafsu, bukan lah kebahagiaan yang sesungguhnya. Tapi aku tetap saja membutuhkan seorang perempuan yang bisa membuat hidupku sempurna, agar hidupku ada yang mengaturnya tak lepas dari jalan-Nya, karena keluargaku sudah tak menghiraukan ku lagi. Hari lepas hari aku akhirnya melakukannya-tidur dengan wanita yang aku berjanji pada diriku sendiri untuk tidak melakukannya sebelum ada ikatan resmi. Ternyata benar kata orang jika kita sudah dekat dengan wanita hal yan tidak mungkin akan menjadi mungkin. Hidupku akan semakin hancur jika aku melakukan kesalahan, kemunafikan akan lebih banyak lagi.
Aku kembali kerumah di tengah malam, ku buka pintu rumahku dengan kunci yang di berikan oleh ibuku-di keluarga ku setiap anggota keluarga di berikan kunci, tadinya kunci itu hanya untuk keperluan saja, maksudnya, jika di rumah tak ada orang maka setiap orang yang mempunyai kunci rumah bisa membuka pintu rumah tanpa harus menunggu terlalu lama, menunggu kembali orang yang membawa kunci-tapi pintu rumah ku di kunci lagi dari dalam, yang ku tahu, jika orang tua ku mengunci lagi pintu rumah dari dalam, sedang, tahu anggota keluarganya belum berada di rumah semua, sudah pasti ketika ada yang membuka kan pintu dari dalam, orang yang baru pulang tersebut akan di beri sebuah hadiah (kata halus dari di marahi) itu pun jika ibuku yang membukakan pintunya. Aku pun mulai “sport jantung” dan aku mencoba untuk menekan bel sambil berharap bukan ibuku yang membuka kan, ketika pintu terbuka…………………………..

Kejadian begitu   p         e         l          a          n   sekali   

 a……………… ku jika aku melihat wajahku dari cermin mungkin kini sudah terlihat seperti mayat, pucat. Dan aku semakin berharap bahwa yang membukakan bukan ibuku, ternyata……………………………… aku melihat sesosok tangan besar dan pasti itu bukan ibuku, dan hati ku mulai lega, tapi ternyata…………………………………. i………….tu……………. memang bukan ibuku dan itu memang ayahku. Hah! Lega rasanya, karena ayahku itu termasuk orang yang acuh tapi termasuk orang yang memiliki prinsip, oleh karena itu aku ingin menjadi seperti ayahku, mementingkan dulu karir, baru mencari wanita. Tapi, hidup di zaman ini tak seperti di zaman dahulu, di zaman ini godaan akan wanita lebih banyak lagi, wanita di zaman sekarang sudah berani . memperlihatkan auratnya di depan umum, padahal menurut agamaku wanita di larang memperlihatkan auratnya selain kepada mukhrimnya. Terlalu memikirkan wanita aku pun jadi ingat kepada wanita yang aku tiduri tadi sore, pikiranku jadi kacau, aku takut jika wanita itu “berbadan dua”. Tengah malam di hari minggu, 5 menit lagi menuju hari senin. Aku masih terbangun, padahal semua teman – teman dan keluargaku sudah tahu bahwa aku selalu tidur jam 7 malam tak kurang tak lebih. Tapi kali ini aku masih bingung dan merasa menyesal telah melakukan apa yang kulakukan tadi. Aku pun mencoba untuk memejamkan mataku tapi tetap saja aku tak bisa menerbangkan arwahku untuk sementara. Akhirnya aku menetapkan untuk tidak tidur hari ini, walaupun wanita yang melakukan hal ‘aneh’ denganku tadi, laudya namanya, menelpon ku untuk memastikan bahwa dia tak berbadan dua, tetapi tetap saja hatiku bingung, karena ku pikir mana mungkin seorang wanita mengetahui bahwa dirinya berbadan dua atau tidak dalam satu hari.

♠♠

Jam sudah menunjukkan pukul 4 pagi dan aku masih belum tidur juga, masih melamun sambil duduk termenung, hingga akhirnya ibuku bangun. Aku mengetahui itu ibuku karena terdengar suara pintu dapur di buka, dan kamarku ada di ruang dapur di sebelah kamar mandi, tepatnya di depan tangga. Yang ku tahu pukul 4 pagi aku akan di bangunkan untuk sholat shubuh. Ternyata benar aku akan di bangunkan dan aku langsung mematikan televisi yang berada tepat di depan kasurku, lalu, aku pun langsung berpura – pura tidur karena jika aku tidak tidur, ibuku akan memarahiku. Ibuku membuka pintu kamarku, aku tepat sudah seperti layaknya orang yang tidur. Ibuku pun berkata “deeeee, bangun de, sholat!” aku pun bangun dari kepura – puraan ku,

Duduk ku dalam benakku
Hingga akhir waktunya aku
Bahagiaku disana adanya
Tapi, kembali ku pada dunia fana
Sendiri terduduk dalam benak
Aku pun letih hingga kelak
Saatnya kini tuk mengelak
Lalu, kembali ke dunia nyata
Berlanjut ke hari berikutnya

dengan mata di gosok oleh tanganku, aku pun sudah seperti manusia yang terbangun dari tidurnya. Aku pun langsung menuju kamar mandi sesaat setelah ibuku pergi. Aku tak mungkin melakukan sholat karena aku belum mandi besar setelah melakukan hal yang “di inginkan” oleh anak muda zaman sekarang. Aku pun terpaksa berpura – pura wudhu agar aku tak di marahi oleh ibuku, dan aku pun masuk kembali ke kamar, di kamar, aku tak sholat tetapi aku kembali duduk termenung, sebelum kembali lagi mencoba untuk tidur. Aku merasa menyesal apa yang aku lakukan 7 jam yang lalu, kini pukul 4.30. aku tak sengaja melakukannya, aku khilaf, walaupun hal 7 jam yang lalu aku sangat menginginkannya. Aku merasa hina melakukannya, dan aku pun telah menjadi orang munafik untuk yang kedua kalinya. Hidupku aneh, bingung aku memikirkannya, padahal aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk tidak melakukannya, menjadi lagi orang munafik. Tetapi kenapa itu terjadi-hal  yang negative. Apakah Tuhan menginginkan aku agar masuk ke neraka, tentu saja aku tidak menyalahkan Tuhan, tapi apakah arti munafik itu, aku belum mengenalnya lebih jauh. Hingga akhirnya aku berada di sekolah pukul 06.00 pagi. Pagi  sekali aku telah berada di sekolah untuk meratapi hariku yang semakin hari semakin kelam.

“Haiiiiii!!!!” Sapa laudya padaku. Laudya, yach memang dia teman sekolahku, juga termasuk teman perempuanku. Aku terhenyak, jantungku terasa seperti hilang, aku melihatnya nya seperti aku melihat hantu saja.

“haiii” sapaku
“kamu kenapa, kok kayak yang parno gitu sich?”
“Nggak! Aku Cuma bingung aja, ada ulangan matematika sich skarang”

Bukan ulangan tolol ! tapi aku bingung memikirkanmu, aku tlah menidurimu, kau tak ingat? aku belum siap untuk menjadi ayah, coba kata – kata tadi dapat ku keluarkan dari hati, mungkin kau kini sedang menangis. Aku melakukan itu karena aku mencintaimu, aku menyayangimu, dan aku pun tahu kau pun mau, yach, lebih baik kita berdoa saja agar kita bisa terus menjalani hubungan ini hingga jenjang pernikahan bukan jalinan kasih yang hanya mengandalkan birahi. 

Cinta! Itu apa perbuat
Kan semu kau dan aku
Tercaci aku dalam makian waktu
Jelang cincin kita tuk buktikan
Agar cinta tembuskan senja tecapainya tangan
Yach! Tak tertunggu ku hingga kepastian
Walau agama ku tlah tersayat

♠♠

   Seperti biasa kita pulang bersama, kita tak langsung pulang ke rumah, Laudya lapar katanya, kita makan dulu di food court sebuah mall. Setelah memesan makanan kita mencari tempat duduk di tempat yang bertuliskan smooking area itu di karenakan aku selalu ingin merokok setelah makan. Aku berusaha untuk tidak mengungkit lagi kejadian tadi malam.

“Eh tau gak, aku akhir – akhir ini suka pusing – pusing gitu kalo telat makan”
Laudya memakan makananya. Aku terhenyak ketakutan, tapi aku mencoba tenang.
“Iya? Kenapa tuch? Kamu udah coba ke dokter belum?”
“Heeeh” Laudya menggelengkan kepalanya “Belum ada waktu”
“Ati – ati loh ntar gak nyadar makin parah”
“Duh sayang kamu khawatir gitu sih, makasih yah udah ngingetin”

Laudya tersenyum padaku, akh, senyum itu yang membuat ku tak mau meninggalkan mu, senyum itu yang membuat aku ingin ‘melakukannya’ denganmu, senyum itu yang pertama kali membuat aku jatuh cinta padamu.

“Ntar langsung  pulang ya, aku mau nganterin mama ku belanja.” Kataku sembari menghisap rokok terakhir.

Laudya menganggukan kepalanya.