Sudah 4 minggu aku dan ibuku tidak pernah saling bercengkrama, setelah kejadian ini, menyapa pun tidak, bahkan ucapan yang seharusnya di balas, di hiraukan nya. Dan sekarang sudah minggu ke-5 aku dan ibuku masih saja saling diam. Ibuku kesal karena aku tak mau menjalankan perintahnya, dan dia memberiku ‘gelar’ egois karena aku hanya ingin melakukan apa yang ingin aku lakukan, padahal, bukankah buah tak kan jatuh jauh dari pohonnya, aku egois di karenakan ibuku memiliki sifat itu juga, buktinya, ibuku tak rela aku tak melakukan perintahya, dan ibuku berharap aku mengalah kemudian melakukan perintahnya, padahal, tidak akan pernah.
“Assalamualaikum” kataku ketika aku baru memasuki rumah.
Ibuku yang berada di ruang tengah, sedang menonton televisi, diam saja seperti patung, seperti orang bisu. Padahal kalau tidak ada kejadian ini cerewetnya minta ampun, sampai aku bingung sendiri harus bagaimana lagi saat ibuku terus berbicara dan sulit untuk di berhentikan. Aku masuk ke kamarku menyimpan tas, jaket, dan mengganti celana panjang menjadi celana pendek, lalu kembali lagi ke ruang tengah,
“Bu! Makanan hari ini ada apa saja?” Tanyaku.
Ibuku masih diam saja seperti patung, seperti orang bisu, entah sedang asyik menikmati tayangan televisi yang pada saat itu sedang menayangkan acara infotainment, di mana tayangan tersebut sangat di minati oleh semua kalangan ibu – ibu meski mereka tahu bahwa membicarakan orang lain itu tak boleh, tapi tetap saja mereka menonton acara yang mengeksploitasi kehidupan selebriti tersebut. Aku terpaksa melihat sendiri makanan apa saja yang ada untuk hari ini, ternyata tak ada apa – apa.
“Kok, gak ada apa – apa?” Tanyaku lagi.
Ibuku masih diam, tak menjawab pertanyaan ku. Aku kembali ke kamarku untuk mengganti celana pendek menjadi celana panjang, menggunakan jaket, tapi tidak membawa tas, karena aku hanya akan keluar sebentar, membeli makanan.
“Bu, aku mau membeli dulu makanan! Ibu mau apa?” Kataku.
Ibuku masih diam, matanya tidak beranjak dari tayangan televisi. Aku pun pergi menggunakan motor yang seharusnya sudah ‘di pensiunkan’ ini. Seharusnya pada saat ini motorku sudah di ganti, tapi karena kejadian ini motorku tak jadi di ganti, dan aku terpaksa masih menggunakan motor ―muda yang terlihat tua― kesayangan ku ini. Tak lama aku pun kembali dengan membawa se-plastik daging ayam berisi 4 potong, untukku, ibuku, adikku dan kakakku. Adikku dan kakakku sedang tidak ada di rumah saat ini, tapi apa salahnya jika aku membelikan mereka daging ayam untuk makan nanti malam. Adikku, yang aku ketahui dia sedang sekolah. Kakakku, entah kemana, mungkin sedang kuliah, mungkin. Ayahku, sedang bekerja di luar kota, dia pulang seminggu sekali, pulang jum’at malam, pergi lagi senin pagi. Aku masuk rumah tanpa mengucapkan salam, karena takut salam ku tak di jawab lagi oleh ibuku yang masih asyik menonton televisi, dan aku takut ibuku menjadi berdosa karena tidak menjawab salam yang seharusnya di jawab.
Sudah 4 minggu terakhir ini aku seperti tak di anggap ada oleh ibuku di rumah ini, aku seperti orang asing bagi ibuku, aku seperti mengontrak kamar saja di rumah ini, hanya padaku. Perlakuan ibuku pada adikku tidak seperti pada ku, atau perlakuan ibuku pada kakaku tidak seperti pada ku. Perlakuan ibuku pada adikku, atau pada kakakku sangat membuat ku syirik, mereka bercanda, berdiskusi, atau melakukan sesuatu hal bersama – sama, tapi aku, aku melakukan semuanya sendiri, saat aku meminta tolong pada ibuku, dia membiarkan aku melakukannya sendiri, dan aku terpaksa meminta pertolongan pada adikku yang baru berumur 10 tahun itu untuk melakukan hal yang berat seperti membantu memindahkan lemari, itu pun jika adikku sudah pulang sekolah, jika belum, terpaksa aku mengerjakkan nya sendiri. Ingin meminta pertolongan pada kakakku, dia baru pulang pada larut malam, jadi saat dia pulang aku sudah tertidur, mungkin pulang dari kuliahnya, mungkin. Kalau meminta pertolongan pada ayahku harus hari sabtu atau minggu, itu pun jika ada waktu, biasanya ibuku selalu mengajak berpergian jika ayah ku ada di rumah, karena jika tak ada ayahku, ibuku selalu ada di rumah, pergi pun untuk mengaji saja di rumah tetangga.
Beberapa hari ini aku jadi merasa kehilangan, aku kesepian, tak ada lagi suara wanita yang membangun kan ku pada waktu shubuh, tak ada lagi suara wanita yang bertanya “Dari mana?” atau “Mau kemana?”, aku rindu pada sesuatu yang membuat seorang anak di lahirkan di dunia, aku rindu pada suaranya, aku rindu pada senyumnya, aku rindu semua yang di lakukannya, aku rindu pada sesosok manusia yang sebenarnya ada di hadapanku tetapi tak bersuara, tetapi tak menyapa, aku merindukannya. Karena kejadian ini aku menjadi merindukannya, karena kejadian ini aku menjadi kehilangannya. Dan yang paling membuat aku merasa menyesal dalam kejadian ini adalah ketika ibuku memanggil ku untuk suatu keperluan, dia memanggil ku dengan menyebutkan namaku, padahal jika tidak ada kejadian ini ibuku selalu memanggil ku dengan sebutan “Ade”, yang aku anggap panggilan itu adalah panggilan sayang dari ibuku, dan kini dia memanggil namaku, aku takut ibuku tidak sayang lagi padaku, walaupun sebenarnya sebuah nama panggil tidak dapat merubah siapa, apa, dan bagaimana seseorang, tetapi tetap saja aku merasa seperti menjadi orang asing di mata ibuku, aku merasa seperti ibuku baru mengenalku, aku merasa ibuku bukanlah ibuku.

***
Hari ini adalah hari yang tepat untuk berkata yang sebenarnya, aku sudah tak sanggup lagi untuk berbohong pada ibuku, walaupun aku bahagia melakukannya, membohonginya. Sudah hampir 6 bulan aku berbohong padanya, tidak menceritakan yang sebenanya, karena selama 6 bulan itu aku berpikir apakah yang aku lakukan ini benar, atau malah yang aku lakukan ini adalah petaka. Selama aku membohonginya aku selalu tertawa bahagia bersama teman – teman ku yang sudah aku anggap sahabat, tapi apakah ibuku juga demikian, tertawa bahagia. Jika aku tidak mengatakan yang sebenarnya, aku tak mau menjadi orang yang membuat ibuku bahagia saat ini tetapi kelak ―saat nanti― ibuku menangis, tapi jika aku katakan yang sebenarnya pada ibuku sekarang apakah ibuku akan bahagia kelak, atau malah terus menangis, saat ini juga nanti. Terus aku berpikir tentang semua ini, walaupun sering kali aku membicarakan tentang banyak hal bersama teman – temanku, tetapi tetap saja di saat aku sendiri aku selalu memikirkan hal ini, hal yang sebenarnya tidak terlalu pelik tetapi dapat membuat orang – orang di sekitarku ―khususnya ibuku― menjadi sakit, atau bahkan dapat membuat ibuku putus asa dan merasa menyesal karena telah melahirkan ku ke dunia ini, orang yang tidak berguna bagi ibuku, orang yang hanya memikirkan dirinya sendiri, orang yang tidak pernah melihat keadaan sekitar. Aku mulai menimbang – nimbang lagi tentang apa yang ingin aku lakukan saat ini, apa yang ingin aku katakan saat ini.
***
Hari ini adalah hari minggu, dan aku bangun pagi – pagi sekali karena kemarin sore ayahku berjanji untuk mengajakku jalan – jalan. Semua anggota keluarga sudah siap untuk pergi, aku, kakak ku, ibuku, ayahku. Aku paling senang sekali pergi ke pantai, oleh karena itu hari ini ayahku mengajak sekeluarga untuk bertamasya ke pantai,
“Yeee!” sorak ku “Ke pantai, ke pantai, ke pantai!”
“Iya, iya, kita ke pantai” Kata ayahku.
Saat aku mau masuk mobil, ibuku memanggilku.
“De! Ini baju renang kamu ketinggalan!”
Aku langsung membuka kembali tas untuk melihat apakah benar baju renang ku ketinggalan, dan itu memang benar adanya. Aku kembali masuk rumah untuk mengambil baju renang.
“Makasih bu udah ngasih tahu” kataku seraya memasukkan baju renang ke dalam tas.
Senang nya memiliki ibu yang pengertian, coba kalau ibuku tidak seperti itu, mungkin baju renang ku yang ketinggalan akan di hiraukannya, dan di pantai aku terpaksa berenang tanpa menggunakan pakaian renang. Tak lama kita pun berangkat meninggalkan rumah.
“Kamu, kalau ke pantai aja, bangunnya pagi banget. Kalo pas sekolah susah banget di banguninnya!” kata ibuku yang sepertinya tidak suka jika aku bangun pagi sekali.
Aku menghiraukan perkataan ibu ku dan masih terus memandang ke arah jalan sambil bernyanyi – nyanyi dalam hati. Aku melihat keadaan dalam mobil, kakak ku sedang tidur pulas karena tadi malam kakak ku pulang larut sekali, ayahku sedang serius menyetir sambil sesekali bercengkrama dengan ibuku, dan aku sendiri masih bernyanyi – nyanyi dalam hati menyanyikan lagu “Naik – naik ke puncak gunung” walaupun aku tahu tamasya kali ini bukan ke gunung, tapi aku tak tahu lagi lagu apa yang harus aku nyanyikan, masalahnya aku baru belajar lagu itu di sekolah, dan hanya lagu itu yang aku tahu.
***
Kamar ku terasa sangat berantakan sekali, tak ada yang mau membereskan, biasanya jika tak ada kejadian ini kotor sedikit saja sudah di bersihkan kembali oleh ibuku, dan aku bisa tidur kembali dengan nyenyak, meskipun sebenarnya dalam keadaan kotor pun aku masih bisa tidur dengan pulas hingga tak ada yang bisa membangunkan ku kecuali suara ibuku. Kini aku merasa segan untuk berada di dekat ibuku, biasanya pada sore hari aku selalu menonton televisi di bawah sambil bercengkrama dengan ibuku, tapi kini, setelah kejadian ini, aku pikir lebih baik menonton sendiri saja di kamar ku yang kini menjadi satu – satu nya pelindung ku. Di dalam kamar aku tak tahu ingin menonton apa, mataku tertuju pada televisi tetapi pikiran ku tetap memikirkan perlakuan ibuku terhadap diriku selama 4 minggu terakhir. Apakah aku harus meminta maaf dan kembali mengikuti kemauan ibu ku, ataukah aku harus tetap pada pendirian ku. Aku tak mau menjadi orang yang tersenyum padahal hati sebenarnya terluka, tetapi aku juga takut di-cap sebagai orang yang tak punya malu, semua yang aku inginkan di kabulkan oleh ibuku dan saat ibu ku menginginkan sesuatu dari ku, aku tak mengabulkannya. Aku takut di-cap sebagai orang yang durhaka, tetapi aku tak melupakan ibuku, aku tetap menganggap ibuku sebagai ibuku, aku menerima apa kekurangan dan apa kelebihannya, sedangkan yang di namakan durhaka adalah melupakan siapa ibunya, dan tidak menerima apa kekurangan dan kelebihan ibunya, dan aku bukan lah orang yang seperti itu, bahkan pernah orang lain bertanya padaku “Siapa ibumu?” dan aku menjawab dengan bangganya bahwa ibuku adalah ibuku walaupun setelah itu orang yang bertanya tersebut mengerutkan dahinya. Jadi, aku bukanlah anak yang durhaka.
Sedang asyiknya aku menonton salah satu acara di televisi, tiba – tiba kakakku masuk dengan wajah geramnya,
“Heh! Lakukan apa yang ibu mu inginkan! Jika tidak, awas! Temanku banyak! Dan mereka dapat memberitahu kepada kakak apa yang selama ini kamu lakukan dan akhirnya kakak mengetahui apa yang menyebabkan kamu hingga tak mau mengikuti apa kata ibu.” Kata kakak ku yang kemudian kembali meninggalkan kamarku setelah berkata demikian.
Memang nya kenapa jika teman kakak banyak, apakah berpengaruh terhadap pilihanku yang tetap tidak mau melakukan apa yang ibu ku inginkan. Buat apa memiliki teman banyak jika teman yang sudah lama di kenalnya di lupakan, buat apa memiliki teman banyak jika tak berguna untuk kemajuan diri sendiri, buat apa memiliki teman banyak jika hanya untuk menyombongkan diri sendiri saja seperti apa yang baru kakak ku katakan, bukan kah Tuhan menyuruh kita untuk mempererat silaturahmi, bukan memperbanyak silaturahmi seperti apa yang kakak lakukan, tak apa jika banyak silaturahmi dan itu erat, tapi jika banyak silaturahmi dan itu tak erat, juga membuat diri kita sombong, untuk apa, hanya menambah dosa saja, Mubadzir.
***
Setelah lama menimbang perkataan yang baik dan benar di dalam rumit nya pikiran, akhirnya aku menemukan kata – kata yang halus, yang tidak melukai hati ibuku, kata – kata yang jujur, kata – kata yang dapat menguatkan semua argumen ku tentang apa yang aku lakukan selama ini. Saat aku akan berkata yang sejujurnya kepada ibuku, aku kembali berpikir tentang perlakuan ibuku kepada ku setelah dia tahu jika anaknya mengkhianatinya, pertanyaannya, apa yang akan di lakukan oleh ibuku kepada ku setelah dia tahu bahwa anaknya membohonginya, lama aku berpikir tentang itu, maksudnya agar aku nanti tidak terlalu kaget karena perlakuan ibuku kepada ku tidak seperti apa yang di harapkan. Yang aku harapkan setelah aku berkata yang sejujurnya adalah ibuku dapat mengerti apa yang di inginkan anaknya, ibu ku dapat mengerti bahwa anaknya ini tidak mau melakukan sesuatu tanpa adanya keinginan, dan ibuku dapat merelakan semua keinginannya demi keinginan anaknya, tapi bagaimana jika ibu ku tidak mau merelakan keinginannya demi keinginan ku, bagaimana jika ibu ku tidak ― mau ― mengerti apa yang anaknya inginkan, bagaimana jika, bagaimana jika, bagimana jika. Tetapi aku harus tetap mengatakan yang sebenarnya kepada ibuku tentang apa yang aku lakukan selama ini, apa pun yang kan terjadi nanti, bagaimana perlakuan ibuku kepada ku nanti aku harus tetap mengatakan yang sebenarnya karena sesungguhnya kebohongan apapun yang dilakukan oleh ku tidak dapat merubah sesuatu menjadi benar, dan itu akan menanambah luka, nanti ketika semuanya terkuak.
***
Setelah melaju di jalanan begitu lama akhirnya aku dan keluarga sampai juga di tempat tujuan, tempat yang sangat aku rindukan, tempat yang sangat aku impikan, tempat yang terasa begitu tenang, tempat yang hanya terdengar suara deburan ombak dan suara burung – burung yang sedang bernyanyi entah berpuisi mensyukuri keindahan pantai ini. Aku turun dari mobil dengan semangat dan segera untuk menghirup udara pantai yang terasa sangat bersih ini, aku seperti baru lahir kembali, aku seperti kembali menjadi seorang bayi meskipun kini aku sudah kelas 3 di salah satu sd negeri. Tak kuat aku menahan untuk tidak merasakan deburan ombak, setelah membuka baju dan mengganti celana pendek dengan celana renang aku langsung berlari mendekati ombak – ombak yang sedang menari mengikuti irama nyanyian hati dan nyanyian para burung yang sedang berbahagia hati nya.
Aku tertawa sendiri, bernyanyi sendiri, berlari – lari sendiri, tetapi aku tak merasa sendiri, aku tak merasa tak ada yang menemani, hati ku terasa ramai sekali hingga sesekali terasa sulit untuk mengambil napas. Aku sangat bahagia hari ini, aku seperti tak mau menjalankan hari esok karena takut hari esok tak kan bisa membuatku sebahagia ini, aku tak mau kembali ke masa lalu karena masa lalu tak pernah bisa membuatku sebahagia ini, aku ingin tetap berada pada hari ini meskipun Tuhan tak berkenan.

***
— Bukan kah Tuhan menyuruh kita untuk mempererat silaturahmi, bukan memperbanyak silaturahmi seperti apa yang kakak lakukan, tak apa jika banyak silaturahmi dan itu erat, tapi jika banyak silaturahmi dan itu tak erat, juga membuat diri kita sombong, untuk apa, hanya menambah dosa saja, Mubadzir —
Aku terpikir kembali dengan perkataan kakak ku yang secara tidak langsung ingin mengatakan bahwa relasi adalah segalanya, dan relasi tersebut di dapat dari apa yang ibuku inginkan. Karena aku tahu bahwa kakak hidup dari relasi, kakak mendapatkan pekerjaan dari relasi, dan teman yang di sebut pacar pun di dapat kakak dari relasi. Tapi aku tak membutuhkan itu semua, aku tak membutuhkan relasi, semua nya bisa aku dapatkan tanpa relasi, itu di karenakan aku memiliki keberanian untuk bergerak tanpa ada yang mendampingi, tanpa ada yang merangkul. Aku memang sombong dan egois, bahkan mungkin lebih sombong dan egois dari Tuhan yang tak pernah mau menampakkan diri-Nya di depan hambanya, yang hanya bisa menyuruh, bersabda, dan jika tak mau melakukan suruhan-Nya murkalah manusia, Tapi Tuhan melakukan itu semua pasti ada maksudnya, pasti, aku yang termasuk makhluk-Nya juga memiliki maksud dan tujuan mengapa aku seperti ini. Dan biarkan aku menjadi diri sendiri yang dapat memilih sesuatu yang di inginkan tanpa harus melihat siapa yang menenemani karena takut yang menemani tak menyukai apa yang aku inginkan, aku tak mau lagi ketergantungan, apalagi kepada manusia, cukuplah aku ketergantungan pada Tuhan, karena hanya Tuhan yang dapat mengabulkan apa yang aku inginkan, karena hanya Tuhan yang dapat memberikan apa yang aku harapkan, tanpa aku harus menjadi —seperti— Tuhan, seperti apa yang ibuku lakukan, menyuruhku dan jika aku tak lakukan apa suruhan ibu, terkutuklah aku.
***
“ Ya Tuhan yang maha pengasih lagi maha penyayang, tolonglah aku Tuhan, kini aku berada pada jalan yang sungguh sulit untuk aku lewati. Aku berada dalam keadaan yang sangat pelik, sulit untukku menentukan arah mana yang baik bagi ku, aku tak mau dalam keadaan yang sama dan terus seperti ini, menjadi seorang manusia yang hidup tapi sulit untuk bernapas karena semua udara yang terhirup masuk kedalam pikiran dan tak bisa untuk di keluarkan, haruskah aku menyerah pada keadaan dan pasrah kemudian menunggu mati yang tak pernah Engkau beritahu kapan, ataukah aku harus terus berjalan meskipun aku tak tahu kemana arah angin berhembus di jalanan, tapi aku takut tersesat, aku takut tak bisa kembali pulang. JIka aku diam, aku tak kan tahu apa yang terjadi nanti setelah matahari tak menyapa, bulan tak tertawa. Oh Tuhan yang maha pengasih lagi maha penyayang.
Ya Tuhan yang maha pengasih lagi maha penyayang, bisakah Engkau memberikan ku jalan yang benar tanpa harus memberikan lagi jalan yang memiliki dua tikungan, ke kiri dan ke kanan, sama seperti jalan yang kini sulit untuk aku lewati. Aku tahu tak ada seorang pun makhluk yang menantang Tuhannya, tapi tolonglah Tuhan, aku hanyalah sebongkahan manusia yang tak bisa berpikir jauh di saat berada dalam keadaan yang sulit untuk bernapas, di saat berada dalam keadaan di mana setan banyak mempengaruhi untuk melakukan perbuatan yang di larang oleh-Mu, Tuhan.
Ya Tuhan yang maha pengasih lagi maha penyayang, apakah benar jika aku mengatakan yang sejujurnya dan apa adanya kepada ibuku, apakah benar jika aku mengatakan pada ibuku bahwa aku adalah seorang pemberontak, ataukah yang aku lakukan selama ini benar, membohongi ibuku dan tak pernah sepatah kata pun mengatakan ada apa dengan diriku. Dan apabila yang ku lakukan selama ini salah, tolonglah aku Tuhan, tolong berikan aku keberanian untuk dapat mengatakan yang sebenarnya kepada ibuku juga meyakinkan kepada ibuku bahwa apa yang aku lakukan selama ini adalah benar. Tolonglah aku Tuhan, aku ini milik-Mu, aku ini kepunyaan-Mu, dan aku tak bisa apa – apa tanpa-Mu di sisi ku.”
***
“De! Bangun de, sekolah!”
Aku membuka sedikit saja mata, kemudian ku tutup kembali.
“Eh! Bangun cepet! Udah setengah tujuh nih, cepet ah! Ntar telat, di marahin aja sama bu guru”
Aku masih menutup mata meski tubuh telah ada yang menarik, dan membukakan baju.
“Ayo! Mau sekolah gak sih!”
Sepertinya aku sudah berada dalam keadaan berdiri meski mata masih ku tutup.
“Eh! Malah diem di situ, lagi! Cepet mandi, terus sarapan!”
Aku menggerakkan kakiku satu langkah ke depan.
“Cepet!”
Aku di dorong dan di paksa untuk melangkahkan kaki ku ke kamar mandi meski mata masih ku tutup dan sulit untuk aku buka.
“De! Cepet! Kalo gak, kamu gak boleh jalan – jalan lagi!”
Aku mencoba untuk mengangkat gayung, dan menyiramkan air yang ada di dalamnya ke sekujur tubuh, tapi mataku masih tertutup dan terasa sulit untuk ku buka.
“Satu! Ayo, cepet!”
Hitungan pemberi keputusan bahwa aku tak akan di ajak jalan – jalan lagi telah di hitung.
“Byur! Byur!” Suara air yang membasahi tubuhku dan tetap tak bisa membuat mataku terbuka.
“Dua! Udah jam tujuh kurang lima belas nih de!”
Aku pun mempercepat alur mandi ku, dan mata telah setengah terbuka, kemudian mengambil handuk dan segera untuk menggunakan seragam sekolah, berkemeja putih dan bercelanakan merah.
“Sekarang sarapan! Cepet makannya!”
Aku masih mencoba membuka mata secara penuh, ku coba dengan menggosok – gosok mata tapi tetap saja sulit untuk ku buka secara penuh.
“Ayo cepet! Sarapan nya sedikit aja, lama!”
Aku pun memakan sesuap nasi dari piring yang berisi nasi goreng tersebut. Dan, aku pun terbelalak karena nasi yang ku makan banyak mengandung rasa pedas.
“Ssshhhh, hah! Ssshhhh, hah!”
Aku segera mengambil minum untuk menetralisir mulut.
“Hahahahahahaha! Makannya kalo di bangunin jangan susah!”
Aku mengarahkan mataku kepada yang menertawaiku, ternyata itu ibuku, dan yang membangunkan ku hingga memberikan rasa pedas yang sangat pedas kepada nasi goreng ini adalah ibuku, karena tak ada lagi orang lain di rumah ini selain ibuku.
“Ssshhhh, hah! Ssshhhh, hah!”
***
Akhirnya, entah aku berubah menjadi pengecut atau sadar bahwa semua ini salah, aku mengalah pada ibuku dan mau melakukan apa yang ibuku inginkan. Ibuku pun sadar dan mau memberikan kebebasan kepada ku untuk melakukan apa pun dan memilih apa pun sekehendak ku. Satu hal yang perlu aku utarakan kepada ibuku, bahwa :
“Ibuku adalah aku tetapi aku bukanlah ibuku”
***
Aku pun memberanikan diri untuk berbicara yang sebenarnya kepada ibu ku. Meski ibu ku memarahi ku, dan mengucilkan ku selama kurang lebih 4 minggu, tetapi aku bahagia karena aku telah melakukan nya, berkata yang sebenarnya. Dan hilanglah semua beban dan kebingungan hati yang selama ini telah mengganggu pikiran ku. Akhirnya kini aku sadar, bahwa :
“Jangan membohongi ibu karena ibu tak kan membohongi ku”
***
Kini aku jadi sering bangun pagi tanpa ibuku harus membangunkanku, aku trauma pada nasi goreng yang pedas. Tetapi alasan yang paling utama kenapa aku dapat bangun pagi karena aku telah menemukan dambaan hatiku, pujaan hati yang dapat membuat ku merasa selalu ada di pantai, meski itu adanya di sekolah.
Dan ternyata :
“Ibu ku menyayangiku”
Aku pun :
“Menyayangi ibuku dan pujaan hatiku”
Bandung, 20 Juli 2007